Halo teman-teman!
Ada yang sudah tahu belum? e-Magazine Edisi 8 telah terbit! e-Magazine merupakan media informasi mengenai kegiatan BEM FKG UH serta informasi lain yang pastinya bermanfaat untuk kita semua. Pada edisi kali ini, e-magazine hadir dengan tema “PERISAI – Peran Mahasiswa Serukan Aspirasi”.
Yuk, baca e-Magazine Edisi 8 ini agar mengenal lebih dekat dengan BEM FKG UH Periode 2021/2022 dan tentunya kalian akan mendapatkan informasi yang bermanfaat.
Toxic productivity adalah keinginan tidak sehat yang dimiliki seseorang yang ingin terus produktif setiap saat dengan segala cara. Ia cenderung akan merasa bersalah jika tidak melakukan apa-apa. Pun jika pekerjaan telah selesai dilakukan, orang yang mengalami toxic productivity ini akan merasa bersalah karena merasa tidak mengerjakannya dengan cukup baik atau cukup banyak.
Bukan hanya berakibat stress berat, seseorang dengan toxic productivity cenderung tidak bisa memiliki waktu untuk keluarga, sahabat, bahkan dirinya sendiri. Sebab waktu yang ia miliki selalu dihabiskan untuk melakukan berbagai pekerjaannya.
Toxic productivity lahir dari budaya kita yang menilai tinggi suatu produktivitas. Kita sering kali takjub dengan orang-orang yang memiliki berbagai macam aktivitas dalam keseharian mereka. Kita juga sering memuji seseorang yang mampu untuk begadang setiap malam demi mengerjakan tugas-tugas mereka dengan baik. Tentu saja dengan adanya budaya ini, kita akan memiliki keinginan untuk menjadi salah satu dari orang-orang tersebut.
Sebenarnya menjadi orang yang produktif tidak sepenuhnya salah, bahkan merupakan suatu hal yang baik selama kita tahu batasan dari diri kita. Menjadi produktif berbahaya apabila produktivitas itu malah mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti kebutuhan makan, minum, bersosialisasi, dan lain-lain. Produktivitas itu juga akan menjadi toxic apabila muncul perasaan bersalah ketika kita rehat sejenak dari kesibukan atau sekedar melakukan hobi dimana kita menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak produktif. Ada beberapa dampak toxic productivity bagi kesehatan kita di antaranya :
Toxic productivity pada dasarnya telah mempertaruhkan kesehatan agar dapat menjadi lebih produktif. Perilaku ini menempatkan tidur, makan, minum, dan kebutuhan bersosialisasi menjadi prioritas kesekian. Sehingga tak heran seseorang yang mengalami toxic productivity mengalami penurunan kondisi kesehatan karena terlalu memforsir diri akibat tidak ingin kehilangan kesempatan.
Perilaku ini juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kecemasan berlebihan. Orang yang mengalami toxic productivity akan rentan stress ketika tidak melakukan sesuatu. Sayangnya, orang tersebut stress pada sesuatu yang salah karena fakta sesungguhnya adalah dirinya tidak sedang berdiam diri bahkan sudah melakukan banyak hal, namun ia tidak mampu melihat dan menghargainya dengan baik. Hal ini akan lebih berbahaya lagi apabila seseorang melampiaskan stress tersebut ke kebiasaan yang dapat memperparah kondisi kesehatan, seperti alkohol, rokok, atau obat-obatan terlarang.
Perasaan burnout atau hilang minat terhadap sesuatu yang biasanya kita lakukan. Toxic productivity bisa membuat seseorang tidak termotivasi, tidak tahu tujuan, sering putus asa, marah pada sesuatu yang bisa dikerjakan, dan menjadi emosional terhadap sesuatu yang bisa didiskusikan dengan baik-baik, bahkan sedih berlebihan sehingga kinerja justru menjadi menurun.. Burnout dapat berefek terhadap pekerjaan, kebiasaan, ataupun hobi yang awalnya sangat diminati. Dengan adanya keadaan ini, produktivitas malah akan menurun.
Selain itu, toxic productivity juga memiliki dampak lain, seperti tidak menghargai pencapaian yang telah berhasil diraih karena orang yang mengalami toxic productivity cenderung tidak merasa puas akan hasil apapun yang telah diraih, baik pencapaian kecil ataupun besar. Perlu disadari bahwa memberi afirmasi positif pada diri sangatlah penting untuk dilakukan sebelum melakukan evaluasi terkait langkah yang harus diambil selanjutnya. Selain itu, hubungan sosial dengan orang lainjuga akan terganggu. Hal ini disebabkan karena orangyang mengalami toxic productivity terlalu fokus pada produktivitas hingga jarang bertegur sapa, mengobrol seperlunya (cenderung hanya membicarakan hal terkait pekerjaan), jarang membalas chat, atau bahkan sibuk melihat webinar maupun terbiasa membicarakan topik-topik berat. Bukan hal yang salah bahwa kita butuh menjalin relasi dengan yang profesional, tapi tak bisa dipungkiri bahwa kita juga butuh teman yang sefrekuensi dalam hal bercanda, membahas hal-hal ringan, karena hal tersebut bisa juga membuka sudut pandang diri lebih luas lagi.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi toxic productivity tersebut, di antaranya:
Kenali Tanda-Tandanya dan Sadari Masalahnya
Langkah pertama untuk mengatasi toxic productivity adalah dengan menyadari bahwa kita memiliki masalah yang perlu diperbaiki. Kenalilah tanda-tandanya, seperti apakah kita sering merasa harus melakukan lebih banyak hal, dan merasa bersalah bila tidak melakukan sesuatu atau membuang-buang waktu. Bila terus-menerus berusaha mengerjakan apa saja atau merasa bersalah, itu adalah toxic productivity. Tanda lainnya adalah merasa sangat kelelahan, bahkan ketika bangun di pagi hari.
Berilah Jeda untuk Beristirahat
Salah satu ciri toxic productivity adalah terus-menerus bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang bisa saya kerjakan sekarang?”, bahkan pada saat akhir pekan. Menurut Milasas, pertanyaan tersebut harus diubah. Alih-alih mencari hal selanjutnya untuk dikerjakan, berilah diri sendiri waktu untuk beristirahat setelah selesai mengerjakan suatu proyek. Atau kita bisa mencari hal lain yang lebih ringan untuk dikerjakan yang tidak menimbulkan stres.
Masukkan Perawatan Diri ke Daftar Tugas yang Harus Dikerjakan
Usahakanlah untuk merawat diri sendiri, dengan cara apa pun ingin kita lakukan. Bisa dengan lari pagi atau istirahat minum teh di sore hari, atau menonton TV. Bagaimanapun cara kita bersantai, jadikan hal itu sebagai prioritas yang harus dikerjakan.
DIUNGGAH PADA 20 SEPTEMBER 2022
EDISI SEPTEMBER 2022
Bagaimana jika gigi berlubang atau retak atau patah dapat diperbaiki tanpa penambalan gigi?
Tidak seperti jenis jaringan pada manusia lainnya, enamel gigi, lapisan luar gigi, tidak tumbuh kembali setelah rusak. Dokter gigi harus memperbaiki gigi berlubang dan email yang rusak dengan bahan sintetis seperti keramik, logam, dan resin.
Tetapi para ilmuwan sedang mempelajari cara menumbuhkan sel induk gigi di laboratorium untuk mencoba mengubah cara dokter gigi merawat gigi, membayangkan masa depan di mana enamel gigi atau seluruh gigi bisa diganti.
Menurut hasil percobaan laboratorium yang dilaporkan di Cellular and Molecular Life Science, para ilmuwan telah menciptakan model 3D dengan stem cell gigi manusia yang mereka gunakan sebagai pengganti gigi.
Apa itu Stem Cell?
Stem Cell (sel punca) adalah agen regenerasi. Di dalam tubuh, stem cell dapat membelah dan memperbarui diri, bahkan setelah lama tidak aktif, untuk menjaga tubuh bekerja dengan benar.
Dalam terapi sel punca, Mayo Clinic melaporkan bahwa para peneliti mengambil sel punca yang tidak terspesialisasi yang disumbangkan dan mengubahnya menjadi sel khusus yang membantu regenerasi jaringan jantung, darah, dan saraf.
Dalam transplantasi sel punca, umumnya dikenal sebagai transplantasi sumsum tulang, dokter mengganti sel punca yang rusak atau sakit untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh guna melawan kanker dan penyakit darah tertentu.
Dalam kesehatan mulut, ada dua jenis sel punca gigi khusus, seperti halnya sel punca yang terkait dengan tulang Anda:
Dental Pulp Stem Cell (DPSC): Ini termasuk sel punca dari gigi manusia: hDPSCs (sel punca pulpa gigi manusia) dan MDPSCs (sel punca regeneratif pulpa gigi multipoten).
Stem Cells dari Human Exfoliated Deciduous Teeth (SHED): Dari pulpa gigi, SHED berasal dari gigi susu yang tanggal secara alami atau dicabut melalui prosedur gigi.
Leptin-Receptor-Expressing Stem Cells (LepR+): Sel-sel ini berkembang setelah Anda lahir dan berkontribusi pada stabilitas tulang.
Apa yang Ditunjukkan Penelitian Saat Ini?
Para peneliti menggunakan sel punca dari folikel gigi, jaringan yang mengelilingi gigi, untuk membuat model 3D, yang dapat menumbuhkan lebih banyak sel punca gigi di laboratorium.
“Akan menjadi kemajuan besar di bidang ini jika sel punca dapat digunakan untuk memperbaiki gigi berlubang atau mengobati masalah kesehatan mulut lainnya,” kata penulis studi senior Hugo Vankelecom, PhD, peneliti sel punca di Universitas Leuven di Belgia.
“Gigi menyediakan sumber sel induk yang sangat baik,” katanya, dan timnya dapat membuatnya tumbuh dan menghasilkan lebih banyak sel.
Secara teori, seharusnya para ilmuwan bisa mendapatkan sel punca gigi dari gigi yang hilang secara alami atau diangkat melalui pembedahan. Kemudian mereka bisa membekukan dan melestarikan sel tanpa kehilangan kemampuan mereka untuk tumbuh dan beregenerasi, kata Vankelecom.
Di masa depan, ini mungkin berarti biobank secara rutin menyimpan jaringan dari gigi bungsu yang dicabut, sehingga dokter gigi dapat menggunakan jaringan ini ketika masalah kesehatan mulut berkembang di kemudian hari.
“Sel-sel ini dapat diterapkan untuk mempersonalisasi perawatan gigi,” kata Vankelecom.
Tentu saja, lebih banyak tes laboratorium dan uji klinis akan diperlukan untuk melihat apakah, suatu hari nanti, dokter gigi dapat menggunakan sel punca gigi untuk mengisi rongga dan memperbaiki gigi yang rusak dengan aman dan efektif.
“Keberhasilan di klinik akan tergantung pada kemudahan pengumpulan dan biobanking, biaya, dan kualitas perbaikan pada akhirnya,” kata Vankelecom.
Penulis: Tharisya Amiharna Kayla
Referensi:
Scientists Are Working on How to Grow Replacement Teeth, diakses pada https://www.webmd.com/oral-health/news/20220428/scientists-are-working-on-how-to-grow-replacement-teeth
Can Dentists Use Stem Cells To Grow Teeth? Exploring The Future Possibilities, diakses pada https://www.colgate.com/en-us/oral-health/dental-visits/can-dentists-use-stem-cells-to-grow-teeth-exploring-the-future-possibilities#.
DIUNGGAH PADA 20 SEPTEMBER 2022
EDISI SEPTEMBER 2022