Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sosial, tidak salah jika ada yang menyatakan bahwa diabaikannya pendidikan menyebabkan terpuruknya suatu bangsa. Pendidikan menjadi sumber sekaligus alat bagi manusia dalam mempelajari apa yang ada di seluruh jagad raya ini. Selain itu, pendidikan juga berperan sebagai proses manusia dalam mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Maka dari itu, pendidikan pada hakikatnya adalah proses ikhtiar manusia untuk memperoleh pengetahuan sebanyak-banyaknya tanpa ada yang berhak mengganggu proses tersebut sehingga dapat diperoleh pengetahuan yang sebenar-benarnya dan bersifat universal untuk seluruh umat manusia. Pendidikan merupakan bidang kehidupan manusia yang paling vital dan fundamental dalam membentuk bangsa yang cerdas untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa. Jika kemajuan ingin diraih oleh suatu bangsa maka warganya harus cerdas dan terdidik, investasi terbesar yang harus dilakukan adalah investasi manusia (human invesment), yaitu peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan. Tanpa pendidikan yang baik, berkualitas dan merata bagi seluruh masyarakat, kamajuan dan kemakmuran suatu bangsa mustahil diwujudkan. Pendidikan merupakan hak dasar mutlak yang harus diperoleh oleh semua orang tanpa terkecuali. Mendapatkan pendidikan setinggi dan sejauh kemampuan yang dimiliki merupakan hak semua orang. Tidak boleh pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sekelompok orang atau elit tertentu saja.
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa adalah salah satu cita-cita Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Namun realitasnya tujuan tersebut masih sangat jauh dari kata terwujud dengan berbagai macam problematika yang terjadi dimana masih tidak meratanya pendidikan dan juga sulitnya untuk mengakses pendidikan, seakan-akan pendidikan masih hanya untuk kalangan tertentu saja. Pendidikan masih dirasakan oleh masyarakat sebagai beban berat. Banyak masyarakat yang tidak dapat sepenuhnya memperoleh pendidikan karena ketiadaan biaya. Pendidikan di Indonesia sejak reformasi 1998 dinilai condong ke arah liberal-kapitalistik. Kebijakan pendidikan yang ada saat ini hanya sebagai kepura-puraan mewujudkan pendidikan yang populis atau merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini diakibatkan terjebaknya pendidikan di Indonesia dalam dunia kapitalisme. Kapitalisme sebagai sebuah budaya sekaligus sebagai ideologi masyarakat.
Kapitalisme yang merupakan sebuah sistem dimana harga barang dan kebijakan pasar ditentukan oleh para pemilik modal untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya menguasai dunia pendidikan saat ini dan merubah pola pikir masyarakat, sehingga pendidikan hanya diarahkan untuk mencari lapangan pekerjaan semata. Paham kapitalisme menyatakan bahwa pemilik modal dapat melakukan semua usaha demi meraih keuntungan pribadi. Jika kapitalisme masuk ke bidang pendidikan, maka tujuan dasar dari pendidikan akan bergeser dari mencerdaskan atau memanusiakan manusia menjadi sebuah bisnis pasar. Bentuk hegemoni kapitalisme kepada dunia pendidikan dapat dilihat dari proses industrialisasi pendidikan. Proses industrialisasi pendidikan dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu: (1) pendidikan yang dijadikan layaknya industri yang menghasilkan uang dan keuntungan yang berlipat-lipat; (2) sistem pendidikan yang diformat sedemikan rupa (oleh skenario kapitalisme) untuk menyiapkan peserta didik agar mampu beradaptasi dengan dunia industri-kapitalis.
Pendidikan yang dijadikan layaknya industri yang menghasilkan uang tergambarkan sebagai realitas saat ini, keluarga miskin semakin sulit mengenyam pendidikan tinggi, bahkan keluarga menengah pun berpikir dua kali untuk menguliahkan anaknya ke program studi favorit, seperti kedokteran. Tampak bahwa dunia pendidikan masih lebih banyak memihak kepada orang kaya.
Tujuan pendidikan dalam sistem kapitalisme adalah menyiapkan sumber daya manusia yang siap kerja, yang hanya berfokus pada pengembangan perusahaan dan dunia perindustrian. Jika demikian maka secara tidak langsung mahasiswa akan dijadikan sebagai buruh bagi para kapitalis. Cita-cita mahasiswa akan terdikte semenjak mereka melangkahkan kaki ke dunia kampus dengan mengikuti arus kapitalisme.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, meluncurkan empat program kebijakan untuk perguruan tinggi. Program yang bertajuk “Kampus Merdeka” ini merupakan kelanjutan dari konsep “Merdeka Belajar” yang diluncurkan sebelumnya. Empat poin dari kebijakan kampus merdeka meliputi; pembukaan prodi baru, hak bagi mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar program studi yang sedang ditempuh, program re-akreditasi, dan kebebasan bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PT BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi perguruan tinggi badan hukum atau biasa disebut dengan PTN BH.
Meskipun wacana yang termuat kedalam empat program Nadiem Makarim ini tidak bersifat memaksa, namun pada praktiknya akan terarah dengan sendirinya disebabkan terwarnai oleh paradigma pendidikan kapitalisme yang diterapkan saat ini sehingga semakin menunjukkan sistem pendidikan di Indonesia telah diformat untuk menyiapkan peserta didik agar mampu beradaptasi dengan dunia industri-kapitalis. Oleh sebab itu intelektual tidak akan pernah Merdeka dari korporasi penjajahan, apalagi sampai membangun peradaban dunia jika para intelektualnya masih berada dalam cengkraman kapitalisme.
Alih-alih meningkatkan kemampuan mahasiswa, pendidikan makin tak tentu arah khususnya pendidikan tinggi. Pasalnya jika dilihat lagi kebutuhan pasar dan industrilah yang menjadi penentu arah pendidikan. Perguruan tinggi menjadi tempat strategis untuk membangun mental buruh atau pekerja dalam diri setiap mahasiswanya. Pendidikan ala Kampus Merdeka ini akhirnya mengorientasikan perguruan tinggi ke arah industri semata. Mahasiswa tidak lagi disiapkan menjadi lulusan yang ahli pada bidangnya. Namun, disiapkan untuk menjadi lulusan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Selain itu, kebijakan semacam ini justru semakin memuluskan para korporasi menguasai perguruan tinggi hingga perguruan tinggi pun tak lagi berdiri secara mandiri karena harus mengikuti permintaan pasar agar mengurangi tingkat pengangguran dari setiap lulusan di perguruan tinggi. Hal ini pun semakin menguatkan cengkeraman liberalisasi dalam dunia pendidikan pada saat ini.
Padahal dunia kerja dan industri bukanlah menjadi satu-satunya goal setting dari mahasiswa. Lagi pula hal itu juga bukan menjadi bagian Tri Dharma Perguruan Tinggi. Namun, program “Kampus Merdeka” ini menjadikan mahasiswa lupa akan hakikat dari pola pikirnya sebagai kaum intelektual, yang semula memiliki cita-cita luhur membangun bangsa dan memajukan masyarakat menjadi hanya berpikir seputar persaingan dunia kerja. Hal ini akan mengikis sikap empat, kritis, dan inovatif terhadap lingkungan dan mengajarkan mahasiswa tentang paham individualistik yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Pendidikan ala kapitalisme sejatinya menggerus visi pendidikan yang agung. Industrialisasi pendidikan membuat lulusannya sibuk dengan urusan pemenuhan materi. Mereka hanya tahu bagaimana mendapatkan uang namun kehilangan karakternya sebagai aktor utama kemajuan peradaban. Dengan demikian, negara telah kehilangan masa depan peradabannya karena dikuasi oleh pemimpin industri yaitu kapitalis. Sementara, SDM di negara tersebut menjadi robot pekerja bagi para kapitalis.
Kenyataan ini sungguh memprihatinkan. Untuk memerangi hal tersebut, penyadaran terhadap mahasiswa merupakan tahapan yang paling urgent. Mahasiswa sebagai kaum intelektual berperan menjembatani antara masyarakat dan pemerintah dalam menyampaikan aspirasi, kritik, dan saran dari masyarakat. Akan tetapi, mahasiswalah yang saat ini sedang dieksploitasi potensi dan psikologisnya. Untuk terjadinya progresivitas diharapkan setiap orang dapat bekerja sama dalam skala yang besar. Berdasarkan latar belakang yaitu untuk bagaimana mengatasi liberisasi dan kapitalisasi pendidikan di Indonesia, yang dimana sistem yang ingin kita runtuhkan ini adalah sistem yang telah legal di Indonesia. Dibutuhkan kesadaran dari mahasiswa itu sendiri.
REFERENSI :
Samrin S. Kapitalisme dan Pendidikan Liberal-Kapitalistik. Shautut Tarbiyah. 2015 Nov 1;21(2):130-46.
Solihin M., Kapitalisme Pendidikan (Analisis Dampaknya Terhadap Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa ). Nur El-Islam. 2015;2(2)
Penulis : Muhammad Arif Aryadifa
DIUNGGAH PADA 30 JUNI 2022
EDISI JUNI 2022
Saat ini, banyak sekali bisa kita temukan plang bertuliskan “Tukang Gigi” atau “Ahli Gigi”. Apasih itu Tukang Gigi? Apakah Tukang Gigi sama dengan Dokter Gigi? Jelas berbeda. Tukang gigi adalah setiap orang yang memiliki keahlian membuat dan memasang gigi tiruan lepas pasang. Pekerjaan tukang gigi di Indonesia sudah ada sejak zaman Belanda. Bahkan tukang gigi (tandmeester), yang pada saat itu dikenal sebagai dukun gigi sudah memonopoli pasar.
Peran pemerintah dalam mengawasi keberadaan tukang gigi adalah dengan menerbitkan Permenkes No. 53 Tahun 1969 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan Profesi Tukang Gigi. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan berisi tata cara pencatatan serta penyerahan izin dalam melakukan profesi tukang gigi, regulasi ini diterbitkan atas dasar pertimbangan, dimana pada saat itu di Indonesia sendiri masih ramai yang melakukan profesi di ranah kesehatan tidak mempunyai pengalaman ilmiah yang dibutuhkan dan melaksanakan pekerjaan di luar batas- kewenangan dan keahliannya yang dikhawatirkan dapat membahayakan dan merugikan kesehatan masyarakat.
Tukang gigi juga tidak memiliki ijazah atau surat izin yang resmi dari departemen kesehatan. Namun mengapa hingga kini keberadaannya malah justru semakin marak dan pelayanannya pun semakin tidak terkendali? Menurut hukum dasar ekonomi, ada permintaan ada barang. Artinya memang masih ada orang-orang yang mencari tukang gigi untuk perawatan giginya, umumnya orang-orang yang kurang pemahaman dan kesadaran akan kesehatan gigi, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi rendah, dan orang-orang yang lebih memilih jalan pintas. Padahal, jalan pintas yang mereka pilih kadang malah membahayakan diri mereka sendiri.
Contoh paling umum dari “perawatan” tukang gigi yang membahayakan pasien adalah membuat gigi tiruan yang seharusnya lepasan menjadi cekat permanen ke sisa akar gigi asli atau gigi yang berada di sebelah gigi yang hilang. Tindakan ini dapat menyebabkan penumpukan plak sehingga iritasi pada jaringan lunak, bau mulut, hingga kematian gigi yang bersangkutan dan kerusakan tulang rahang. Tidak hanya itu, tukang gigi kini makin berani melakukan tindakan di luar kompetensi dan wewenangnya. Disinyalir makin banyak tukang gigi yang melakukan penambalan gigi, bahkan perawatan orthodonti (pemasangan kawat atau yang dikenal sebagai behel) dan pencabutan gigi.
Namun, masalah dokter gigi versus tukang gigi ini cukup pelik. Tidak mudah untuk menghapus keberadaan para tukang gigi karena mereka melakukannya untuk mencukupi nafkah keluarga. Selain itu tidak dipungkiri penempatan dokter gigi masih belum merata dan belum dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Masalah kurangnya edukasi pasien juga sangat penting, karena ketidaktahuan pasienlah yang membuat mereka merasa perawatan yang diberikan tukang gigi tidak berbeda dengan dokter gigi. Dan yang tidak kalah penting adalah lemahnya pengawasan dan penindakan dari pihak-pihak yang berwenang terhadap masalah ini. Sehingga harapan ke depan tentu saja fenomena ini segera mendapatkan perhatian serius serta semua pihak pemangku kepentingan segera bersatu dalam pemahaman yang sama untuk tidak gagap terkait dengan praktik ilegal kedokteran gigi.
REFERENSI :
Sari AN. Analisis hukum terhadap tanggung jawab jasa tukang Gigi menurut peraturan menteri kesehatan nomor 39 Tahun 2014 tentang pembinaan pengawasan dan Perizinan pekerjaan tukang gigi. Jurnal Cepalo. 2018; 2(1): pp. 22
Pilih Dokter Gigi atau Tukang Gigi?, diakses dari https://www.klikdokter.com/rubrik/read/2695408/pilih-dokter-gigi-atau-tukang-gigi
Penulis: Dias Dwananda Zahwa
DIUNGGAH PADA 30 JUNI 2022
EDISI JUNI 2022